Pengaruh Kebudayaan Terhadap Pembelian dan Konsumensi
1. Pengertian
kebudayaan
Budaya atau
kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa
Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata LatinColere,
yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur”
dalam bahasa Indonesia.
Definisi
budaya
Budaya adalah
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budayaterbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat,
bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana
juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga
banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa
alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari
budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat
rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung
pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil
bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar”
di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” d Jepang dan
“kepatuhan kolektif” di Cina.
Citra budaya
yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman
mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang
dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa
bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan
demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku
orang lain.
2. Dimanakah
seseorang menemukan nilai-nilai yang dianutnya?
Individu
tidak lahir dengan membawa nilai-nilai (values). Nilai-nilai ini diperoleh dan berkembang
melalui informasi, lingkungan keluarga, serta budaya sepanjang perjalanan hidupnya.
Mereka belajar dari keseharian dan menentukan tentang nilai-nilai mana yang
benar dan mana yang salah. Untuk memahami perbedaan nilai-nilai kehidupan ini
sangat tergantung pada situasi dan kondisi dimana mereka tumbuh dan berkembang.
Nilai-nilai tersebut diambil dengan berbagai cara antara lain:
1.
Model atau contoh, dimana individu belajar tentang
nilai-nilai yang baik atau buruk melalui observasi perilaku keluarga, sahabat,
teman sejawat dan masyarakat lingkungannya dimana dia bergaul.
2.
Moralitas, diperoleh dari keluarga, ajaran agama,
sekolah, dan institusi tempatnya bekerja dan memberikan ruang dan waktu atau
kesempatan kepada individu untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang berbeda.
3.
Sesuka hati adalah proses dimana adaptasi nilai-nilai
ini kurang terarah dan sangat tergantungkepada nilai-nilai yang ada di dalam
diri seseorang dan memilih serta mengembangkan sistem nilai-nilai tersebut
menurut kemauan mereka sendiri. Hal ini lebih sering disebabkan karena kurangnya
pendekatan, atau tidak adanya bimbingan atau pembinaan sehingga dapat menimbulkan
kebingungan, dan konflik internal bagi individu tersebut.
4.
Penghargaan dan Sanksi : Perlakuan yang biasa diterima
seperti: mendapatkan penghargaan bila menunjukkan perilaku yang baik, dan
sebaliknya akan mendapat sanksi atau hukuman bila menunjukkan perilaku yang
tidak baik.
5.
Tanggung jawab untuk memilih : adanya dorongan
internal untuk menggali nilai-nilai tertentu dan mempertimbangkan
konsekuensinya untuk diadaptasi. Disamping itu, adanya dukungan dan bimbingan
dari seseorang yang akan menyempurnakan perkembangan sistem nilai dirinya
sendiri.
3. Pengaruh kebudayaan
terhadap perilaku konsumen.
Pengertian
perilaku konsumen menurut Shiffman dan Kanuk (2000) adalah perilaku yang
diperhatikan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan
mengabaikan produk, jasa, atau ide yang diharapkan dapat memuaskan konsumen
untuk dapat memuaskan kebutuhannya dengan menkonsumsi produk atau jasa yang
ditawarkan.
Model
Perilaku Konsumen
1.
Faktor Budaya
Faktor budaya memberikan pengaruh paling luas dan
dalam pada perilaku konsumen. Pengiklan harus mengetahui peranan yang dimainkan
oleh budaya, sub budaya dan kelas sosial pembeli. Budaya adalah penyebab paling
mendasar dari keinginan dan perilaku seseorang. Sub-budaya dapat dibedakan
menjadi empat jenis : kelompok nasionalisme, kelompok keagamaan, kelompok ras,
area geografis.
Kelas-kelas sosial adalah masyarakat yang relatif
permanen dan bertahan lama dalam suatu masyarakat, yang tersusun secara
hierarki dan keanggotaanya mempunyai nilai, minat dan perilaku yang serupa.
Kelas sosial bukan ditentukan oleh satu faktor tunggal, seperti pendapatan,
tetapi diukur dari kombinasi pendapatan, pekerjaan, pendidikan, kekayaan dan
variabel lain.
2.
Pengaruh Budaya Yang Tidak Disadari
Dengan adanya kebudayaan, perilaku konsumen mengalami
perubahan. Dengan memahami beberapa bentuk budaya dari masyarakat, dapat
membantu pemasar dalam memprediksi penerimaan konsumen terhadap suatu produk.
Pengaruh budaya dapat mempengaruhi masyarakat secara tidak sadar.
3.
Pengaruh Budaya dapat Memuaskan Kebutuhan
Budaya yang ada di masyarakat dapat memuaskan kebutuhan
masyarakat. Budaya dalam suatu produk yang memberikan petunjuk, dan pedoman
dalam menyelesaikan masalah dengan menyediakan metode "Coba dan
Buktikan" dalam memuaskan kebutuhan fisiologis, personal dan sosial.
4.
Pengaruh Budaya Dapat Dipelajari
Budaya dapat dipelajari sejak seseorang sewaktu masih
kecil, yang memungkinkan seseorang mulai mendapat nilai-nilai kepercayaan dan
kebiasaan dari lingkungan yang kemudian membentuk kepribadian seseorang.
Berbagai macam cara budaya dapat dipelajari. Seperti yang diketahui secara umum
yaitu misalnya ketika orang dewasa dan rekannya yang lebih tua mengajari
anggota keluarganya yang lebih muda mengenai cara berperilaku. Begitu juga
dalam dunia industri, perusahaan periklanan cenderung memilih cara pembelajaran
secara informal dengan memberikan model untuk ditiru masyarakat. Iklan tidak
hanya mampu mempengaruhi persepsi sesaat konsumen mengenai keuntungan dari
suatu produk, namun dapat juga mempengaruhi persepsi generasi mendatang
mengenai keuntungan yang akan didapat dari suatu kategori produk tertentu.
5.
Pengaruh Budaya yang Berupa Tradisi
Tradisi adalah aktivitas yang bersifat simbolis yang
merupakan serangkaian langkah-langkah (berbagai perilaku) yang uncul dalam
rangkaian yang pasti dan terjadi berulang-ulang. Hal yang penting dari tradisi
ini untuk para pemasar adalah fakta bahwa tradisi cenderung masih berpengaruh
terhadap masyarakat yang menganutnya. Misalnya yaitu, natal, yang selalu
berhubungan dengan pohon cemara. Dan untuk tradistradisi misalnya pernikahan,
akan membutuhkan perhiasan-perhiasan sebagai perlengkapan acara tersebut.
4.
Struktur konsumensi
Secara
matematis struktur konsumensi yaitu menjelaskan bagaimana harga beragam sebagai
hasil dari keseimbangan antara ketersediaan produk pada tiap harga (penawaran)
dengan kebijakan distribusi dan keinginan dari mereka dengan kekuatan pembelian
pada tiap harga (permintaan). Grafik ini memperlihatkan sebuah pergeseran ke
kanan dalam permintaan dari D1 ke D2 bersama dengan peningkatan harga dan jumlah
yang diperlukan untuk mencapai sebuah titik keseimbangan (equibilirium) dalam
kurva penawaran (S).
5.
Dampak nilai-nilai inti terhadap
pemasar
1.
Kebutuhan
Konsep dasar
yang melandasi pemasaran adalah kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia adalah
pernyataan dari rasa kehilangan, dan manusia mempunyai banyak kebutuhan yang
kompleks. Semua kebutuhan berasal dari masyarakat konsumen, bila tidak puas,
konsumen akan mencari produk atau jasa yang dapat memuaskan kebutuhan tersebut.
2.
Keinginan
Keinginan digambarkan dalam bentuk objek yang akan memuaskan
kebutuhan mereka atau keinginan adalah hasrat akan penawar kebutuhan yang
spesifik. Masyarakat yang semakin berkembang, keinginannya juga semakin luas,
tetapi ada keterbatasan dana, waktu, tenaga dan ruang, sehingga dibutuhkan
perusahaan yang bisa memuaskan keinginan sekaligus memenuhi kebutuhan manusia
dengan menebus keterbatasan tersebut, paling tidak meminimalisasi keterbatasan
sumber daya
3.
Permintaan
Dengan keinginan dan kebutuhan serta keterbatasan
sumber daya tersebut, akhirnya manusia menciptakan permintaan akan produk atau
jasa dengan manfaat yang paling memuaskan. sehingga muncullah istilah
permintaan, yaitu keinginan manusia akan produk spesifik yang didukung oleh
kemampuan dan ketersediaan untuk membelinya.
6.
Perubahan nilai
Budaya juga
perlu mengalami perubahan nilai. Ada beberapa aspek dari perlunya perluasan
perubahan
budaya yaitu :
1. Budaya merupakan konsep yang meliputi banyak hal atau
luas. Hal tersebut termasuk segala sesuatu dari pengaruh proses pemikiran
individu dan perilakunya. Ketika budaya tidak menentukan sifat dasar dari
frekuensi pada dorongan biologis seperti lapar, hal tersebut berpengaruh jika
waktu dan cara dari dorongan ini akan memberi kepuasan.
2. Budaya adalah
hal yang diperoleh. Namun tidak memaksudkan mewarisi respon dan kecenderungan.
Bagaimanapun juga, bermula dari perilaku manusia tersebut.
3. Kerumitan dari masyarakat modern yang merupakan
kebenaran budaya yang jarang memberikan ketentuan yang terperinci atas perilaku
yang tepat.
a. Variasi nilai perubahan dalam nilai budaya terhadap
pembelian dan konsumsi.
Nilai budaya memberikan dampak yang
lebih pada perilaku konsumen dimana dalam hal ini dimasukkan kedalam kategori-kategori
umum yaitu berupa orientasi nilai-nilai lainnya yaitu merefleksi gambaran
masyarakat dari hubungan yang tepat antara individu dan kelompok dalam
masyarakat. Hubungan ini mempunyai pengaruh yang utama dalam praktek pemasaran.
Sebagai contoh, jika masyarakat menilai aktifitas kolektif, konsumen akan
melihat kearah lain pada pedoman dalam keputusan pembelanjaan dan tidak akan
merespon keuntungan pada seruan promosi untuk “menjadi seorang individual”. Dan
begitu juga pada budaya yang individualistik. Sifat dasar dari nilai yang
terkait ini termasuk individual/kolektif, kaum muda/tua, meluas/batas keluarga,
maskulin/feminim, persaingan/kerjasama, dan perbedaan/keseragaman.
b.
Individual/kolektif
Budaya individualis terdapat pada
budaya Amerika, Australia, Inggris, Kanada, New Zealand, dan Swedia. Sedangkan
Taiwan, Korea, Hongkong, Meksiko, Jepang, India, dan Rusia lebih kolektifis
dalam orientasi mereka. Nilai ini adalah faktor kunci yang membedakan budaya,
dan konsep diri yang berpengaruh besar pada individu. Tidak mengherankan,
konsumen dari budaya yang memiliki perbedaan nilai, berbeda pula reaksi mereka
pada produk asing, iklan, dan sumber yang lebih disukai dari suatu informasi.
Seperti contoh, konsumen dari Negara yang lebih kolektifis cenderung untuk
menjadi lebih suka meniru dan kurang inovatif dalam pembelian mereka
dibandingkan dengan budaya individualistik. Dalam tema yang diangkat seperti ”
be your self” dan “stand out”, mungkin lebih efektif dinegara amerika tapi
secara umum tidak di negara Jepang, Korea, atau Cina.
c.
Usia muda / tua
Dalam hal ini apakah dalam budaya pada suatu keluarga,
anak-anak sebagai kaum muda lebih berperan dibandingkan dengan orang dewasa
dalam pembelian. Dengan kata lain adalah melihat faktor budaya yang lebih
bijaksana dalam melihat sisi dari peran usia. Seperti contoh di Negara
kepulauan Fiji, para orang tua memilih untuk menyenangkan anak mereka dengan
membeli suatu barang. Hal ini berbeda dengan para orang tua di Amerika yang
memberikan tuntutan yang positif bagi anak mereka. Disamping itu, walaupun Cina
memiliki kebijakan yang mengharuskan untuk membatasi keluarga memiliki lebih
dari satu anak, tetapi bagi budaya mereka anak merupakan “kaisar kecil” bagi
mereka. Jadi, apapun yang mereka inginkan akan segera dipenuhi. Dengan kata
lain, penting untuk diingat bahwa segmen tradisional dan nilai masih
berpengaruh dan pera pemasar harus menyesuaikan bukan hanya pada lintas budaya
melainkan juga pada budaya didalamnya.
d.
Luas/batasan keluarga
Yang dimaksud disini adalah bagaimana keluarga dalam
suatu budaya membuat suatu keputusan penting bagi anggota keluarganya. Dengan
kata lain apakah peran orang dewasa (orang tua) memiliki kebijakan yang lebih
dalam memutuskan apa yang terbaik bagi anaknya. Atau malah sebaliknya anak-anak
memberi keputusan sendiri apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Dan bisa
dikatakan juga bahwa pengaruh pembelian oleh orang tua akan berpengaruh untuk
seterusnya pada anak. Seperti contoh pada beberapa budaya yaitu seperti di
Meksiko, sama halnya dengan Amerika, peran orang dewasa sangat berpengaruh.
Para orang tua lebih memiliki kecenderungan dalam mengambil keputusan dalam
membeli. Begitu juga para orang dewasa muda di Thailand yang hidup sendiri
diluar dari orang tua atau keluarga mereka. Tetapi ketergantungan dalam membeli
masih dipengaruhi oleh orang tua maupun keluarga mereka. Yang lain halnya di
India, sesuatu hal yang akan dibeli diputuskan bersama-sama dalam satu keluarga
yaitu seperti diskusi keluarga diantara mereka.
Contoh Kasus :
REPUBLIKA.CO.ID,KARANGAYAR – Pelestarian terhadap
seni budaya batik menjadi salah kaprah. Masalahnya, seluruh siswa SMP dan
SMA/SMK di Kabupaten Karanganyar diwajibkan membeli seragam batik. Kewajiban
ini berlaku bagi siswa baru maupun siswa lama saat orangtua mengambil rapot
kenaikan kelas.
Koleksi seragam sekolah bertambah. Siswa SMP,
misalnya, selain memiliki seragam putih-biru dan Pramuka, kini bertambah
seragam batik. Demikian dengan siswa SMA/SMK. Selain seragam putih-abu-abu dan
Pramuka, kini juga bertambah seragam batik.
Ini yang dipersoalkan orangtua di sana. Mereka bukan
saja mempermasalahkan cara
”paksaan” yang dilakukan pihak sekolah. Tapi, soal
harga yang terlalu tinggi.
”Masak seragam batik printing harganya Rp 179 ribu per
potong,” tutur salah seorang walisiswa kepada Republika.
Walisiswa dari sebuah SMPN di Jaten, Karangnyar, ini
merasa keberatan dengan model pungutan seperti ini. Masalahnya, siswa setiap
ajaran baru itu wajib membeli seragam reguler dan seragam olahraga.
Menurutnya, banyak orangtua yang memprotes. Tapi,
mereka tak dapat berbuat banyak. ”kebijakan seragam batik sebagai identitas
sekolah. Mau tidak mau, siswa harus membeli,” katanya.
Siswa SMAN I Karanganyar mewajibkan membeli seragam
batik lewat koperasi sekolah. Orangtua disodori belangko pembelian seragam
batik senilai Rp 179 ribu. Ini diberikan saat orangtua mengambil rapor. Dalam
blangko disebutkan, orangtua bisa membayar batik saat mengambil rapor. Atau
setelah libur sekolah.
7.
Perubahan institusi
Perubahan dapat terjadi pada setiap level. Tidak ada lembaga yang bersifat
permanen. Ia akan selalu berubah menuju tatanan kelembagaan (institutional
arrangement) yang lebih efisien. Banyak teori yang menjelaskan mengenai
perubahan kelembagaan. Dari sejumlah teori yang ada, Schlueter dan Hanisch
(1999) mengklasifikasi teori perubahan kelembagaan dalam tiga kelompok, yaitu:
berdasarkan efisiensi ekonomi; berdasarkan teori distribusi konflik
(distributional conflict theory); dan berdasarkan teori kebijakan publik.
Teori perubahan kelembagaan berbasiskan efisiensi ekonomi memiliki tiga
arus pemikiran utama. Arus pemikiran pertama disampaikan oleh Prof. Friedrich
Hayek, ekonom terkemuka Austria dan pendukung utama ekonomi neo klasik. Menurut
Hayek, perubahan kelembagaan bersifat spontan, tidak disengaja, namun merupakan
hasil dari tindakan yang disengaja (Hayek, 1968). Artinya bahwa seseorang atau
sekelompok masyarakat tidak akan membuat sebuah lembaga/aturan bila tidak ada
dorongan yang menuntut aturan tersebut harus ada. Yang dimaksud Hayek,
“perubahan kelembagaan bersifat spontan” adalah bahwa lahirnya dorongan untuk
menciptakan atau merubah kelembagaan bersifat spontan (unintenationally).
Sedangkan aktifitas membuat atau mewujudkan kelembagaannya bersifat disengaja
(intentional). Sebagai contoh, pembuatan perda tentang pengelolaan sumberdaya
air tanah merupakan tindakan yang disengaja, tapi lahirnya kebutuhan adanya
perda tersebut bersifat spontan sebagai respons terhadap situasi yang
berkembang.
Cabang kedua tentang teori perubahan kelembagaan mengatakan bahwa sebuah
lembaga/aturan berubah karena adanya upaya melindungi hak-hak kepemilikan
(property rights). Artinya, seseorang atau anggota masyarakat terdorong membuat
sebuah aturan tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak-hak kepemilikan dari
gangguan yang datang dari luar. Adanya land tenure system (sistem kepemilikan
lahan) dalam masyarakat adat bertujuan agar hak-hak lahan terdistribusi di
antara anggota masyarakat adat tersebut dan mereka memiliki kepastiang mengenai
hal tersebut. Pemikiran ini disampaikan antara lain oleh Posner (1992).
Pemikiran
ketiga perubahan ekonomi kelembagaan berdasarkan atas efisiensi ekonomi antara
lain disampaikan oleh Oliver Williamson, Professor Ekonomi dan Hukum.
Menurutnya, lembaga/aturan akan terus berubah/bergerak dinamis sebagai upaya
meminimumkan biaya transaksi (transaction cost) (Williamson, 2000). Perubahan
biaya informasi, penegakan hukum, perubahan harga, teknologi dll mempengaruhi
insentif/motivasi seseorang dalam berinteraksi dengan pihak lain. Hal ini akan
berpengaruh pada perubahan kelembagaan (North, 1990). Perubahan harga relatif
faktor produksi akan mendorong pihak yang terlibat dalam transaksi melakukan
negosiasi untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan baru. Perubahan kesepakatan
atau kontraktual akan sangat sulit tanpa perubahan aturan main. Oleh karena
itu, North menegaskan, perubahan harga membawa pada perubahan aturan
main.
Selain itu,
kelembagaan juga tidak resisten terhadap perubahan selera atau kesukaan anggota
masyarakat/aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah komunitas. Perubahan
tersebut, sebagaimana diyakini North (1990), akan mengancam existensi
kelemabagaan yang ada. Jika para aktor mersakan bahwa kelembagaan yang berlaku
sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan atau kondisi lingkungan yang ada,
maka ia akan berusaha melakukan perubahan kelembagaan agar lebih akomodatif
terhadap lingkungan yang baru. Kehilangan nilai budaya, norma, tradisi dll dari
sebuah komunitas merupakan contoh perubahan kelembagaan karena adanya perubahan
kondisi lingkungan, baik karena pengaruh eksternal sosial ekonomi komunitas
tersebut maupun karena faktor internal. Sebagai contoh, permintaan pasar ikan
karang yang tinggi dengan harga yang sangat bagus merupakan insentif bagi
nelayan untuk menangkap ikan sebanyak mungkin. Karena itu, larangan menangkap
ikan karang sebagaimana berlaku di beberapa kawasan konservasi laut dianggap
oleh para nelayan sebagai faktor penghambat mencari keuntungan ekonomi.
Sehingga, nelaya akan berusaha mengubah, mencabut atau mengabaikan larangan
tersebut. Pencabutan atau perubahan sebagian dari aturan tersebut merupakan
bentuk perubahan kelembagaan.
Demikian
juga, ketika undang-undang no. 24/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan dianggap
sudah tidak relevan lagi dengan kondisi terkini sehingga tidak effektif, maka
pemerintah mengupayakan perubahan atas undang-undang tersebut yang drafnya kini
sedang dibahas. Pada saat undang-udang tentang tata ruang dirasa sudah tidak
sesuai lagi maka pemerintah akan berupaya menggantinya dengan undang-undang
baru yang bisa lebih baik. Perubahan kelembagaan akan terus berlangsung untuk
meminimumkan biaya transaksi.
Teori kedua
yang menjelaskan perubahan kelembagaan adalah distributional conflic theory.
Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa setiap aktor dalam sebuah arena
(komunitas) memiliki perbedaan kepentingan dan kekuatan. Perbedaan kepentingan
ini merupakan sumber konflik. Setiap aktor yang terlibat konflik akan berusaha
mencari solusi atas konflik tersebut dengan memanfaatkan keuatan (power) yang
ia miliki dengan jalan mengubah aturan main yang berlaku. Aktor yang dapat
mengendalikan power atau memiliki power lebih baik, misalnya karena menguasai
informasi, akses politik, modal, dll, akan mengendalikan proses perubahan
tersebut agar berpihak pada kepentingannya (Knight, 1992). Perubahan
kelembagaan tersebut bukan untuk memuaskan semua pihak atau untuk mencapai
kepentingan kolektif melainkan untuk kepentingan mereka yang punya kekuatan.
Proses perubahan tersebut bisa disengaja atau bisa pula sebagai konsekuensi
dari stratrgi mencari keuntungan dari aktor-aktor yang bermain. Oleh karena
itu, sering ditemukannya tarik menarik dalam proses pembuatan undang-undang
karena adanya perbedaan kepentingan dari setiap aktor yang bermain. Mereka tidak
peduli apakah kelembagaan baru tersebut akan lebih efisien atau tidak. Yang
penting, bagaimana agar aturan main yang baru tersebut dapat menguntungkan
kelompoknya (Knight, 1992).
Mengenai
power, Knight (1992) mendefinisikannya sebagai kekuatan untuk mempengaruhi
orang lain agar bertindak sesuai dengan kepentingannya. Jika “A” lebih powerful
dari pada “B”, maka “A” akan mampu memaksa “B” mengadopsi aturan main yang ide
utamanya berasal dari “A” atau dibuat oleh “A”. Dalam hal ini, pada awalnya “A”
tidak memikirkan kepentingan “B” meskipun pada akhirnya bisa jadi aturan baru
tersebut juga menguntungkan “B”. Dalam hal ini, ketaatan kelompok B atas
kelembagaan baru bukan karena mereka setuju dengan isinya, atau
menguntungkannya, melainkan karena mereka tidak mampu membuat yang lebih
menguntungkan baginya. Kondisi ini, menurut Knight, akan terus berlangsung
selama power resources tidak terdistribusi secara merata atau asymmetric power
condition.
Sumber :
http://kalistaoctavia.blogspot.co.id/2015/01/pengaruh-kebudayaan-terhadap-pembelian.html
http://badrusa2am.blogspot.co.id/2014/12/pengaruh-kebudayaan-terhadap-pembelian.html
http://mirafitriani10.blogspot.co.id/2015/01/pengaruh-kebudayaan-terhadap-pembelian.html