Kamis, 04 Juni 2015

TUGAS 1 "KEMELUT DI GOLKAR ( Tinjauan Dari Sisi Hukum)".

Dualisme Partai Golkar: Kubu Agung Masih Optimis
Dualisme kepengurusan Partai Golkar tampaknya belum akan berakhir dan akan memasuki babak baru yang lebih rumit. Pasca Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada Senin 18 Mei 2015 yang mengambulkan gugatan kubu Munas Bali, langsung disambut dengan pengajuan banding oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), dan kubu Munas Ancol. Secara hukum putusan PTUN dapat memang dapat dilawan dengan pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta.
Seperti prediksi sebelumnya, dimenangkannya kepengurusan Partai Golkar di bawah ARB dalam putusan PTUN tersebut justru akan lebih memperumit status kepengurusan Partai Golkar. Sebab, kubu Agung Laksono diyakini lebih punya posisi kuat untuk melakukan banding: secara substansi sudah menang dalam sidang Mahkamah Partai Golkar (MPG), dan sudah mengantongi SK Menkumham, sementara kubu Ical tidak punya keduanya untuk melakukan banding.
Sangat beralasan jika kubu Agung Laksono merasa didzolimi dalam keputusan tersebut. Dalam hal ini, kepengurusan Munas Ancol melihat adanya kejanggalan dalam amar putusan Majelis Hakim PTUN yang diketuai Teguh Satya Bhakti itu. Perintah pembatalan atas Surat Keputusan (SK) Mekumham bernomor M.HH-01.AH.11.01 tersebut dianggap telah melampaui kewenangan PTUN.
Ketua DPP Golkar hasil Munas Ancol Ace Hasan Syadzily, mengungkapkan lima alasan pengajuan banding terhadap putusan PTUN, diantaranya:
  1. Bahwa hakim telah memutuskan sesuatu putusan yang melampaui kewenangannya, yaitu menyatakan bahwa hasil Munas Riau 2009 sah untuk memimpin Partai Golkar. Hakim PTUN tidak berwenang menyatakan SK hasil Munas Riau yang berlaku karena sesungguhnya kepengurusan Golkar versi Munas Riau telah demisioner, baik pada Munas Bali maupun Ancol.Hanya MPG dan Pengadilan Negeri yang berwenang. Kewenangan PTUN adalah hanya mengadili SK tanggal 23 maret 2015.
  2. Bahwa hakim memasukkan pertimbangan soal Pilkada. Padahal tidak ada di antara penggugat dan tergugat yang berbicara soal Pilkada. Jadi hakim melampaui dari apa yang diminta kedua belah pihak.
  3. Hakim mengesampingkan dan tidak mempertimbangkan penjelasan Prof. Muladi tentang MPG, padahal hakim meminta Ketua Majelis hakim itu hadir di persidangan. Dalam surat ketidakhadiran Muladi yg disampaikan dan dibacakan dalam sidang PTUN Jakarta pada Senin 27 April itu, ditegaskan
  bahwa putusan MPG bersifat final dan mengikat secara internal, dan tidak benar apabila dinyatakan tidak ada putusan yang diambil MPG. Menurut Muladi, perbedaan pandangan antara 4 hakim harus dibaca sebagai satu kesatuan, karena putusan itu ditandatangani secara kolektif.
  Hakim mengesampingkan UU Partai Politik yang menyatakan putusan MPG adalah final dan mengikat sepanjang menyangkut perselisihan kepengurusan. Pernyataan hakim yang menyebutkan berwenang untuk menerobos prinsip final dan mengikat adalah bertentangan dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.Pada Pasal 32 UU tersebut, dinyatakan bahwa putusan dari mahkamah partai final dan mengikat. Hal ini berarti tidak ada upaya hukum lain yang dapat menganulir putusan MPG. MPG adalah badan peradilan yang memiliki kompetensi absolut, otonom, bebas dan merdeka serta mandiri. Karenanya, permohonan dari penggugat yakni kubu ARB, seharusnya ditolak, atau setidaknya tidak bisa diterima atau Niet Ontvanke
  1. lijke Verklaard (NO).
  2. Hakim menyatakan bahwa masih ada perselisihan di antara kubu ARB dan AL di Partai Golkar saat Menkum HAM menerbitkan SK Pengesahan. Padahal dalam hal ini, surat keputusan pejabat tata usaha negara (SK Menkumham) yang diadili oleh hakim bersifat deklaratif, artinyaMenkumham hanya mencatat dan mengumumkan hasil keputusan MPG yang sebenarnya sudah final dan mengikat sepanjang menyangkut perselisihan.
Berdasarkan pertimbangan di ata
s, jelas masih ada optimisme bagi kepengurusan kubu Agung Laksono untuk memenangkan banding. Pengajuan banding yang juga akan dilakukan oleh Menkumham selaku tergugat utama dalam perkara itu juga akan memperkuat argumentasi adanya kejanggalan dalam sidang PTUN. Selama banding dijalankan maka maka keputusan PTUN itu tidak bisa diterapkan.
Adalah penting untuk dicermati bahwa, kekisruhan Partai Golkar berawal dari ketidakbecusah ARB dalam memimpin. Ambisi untuk kembali berkuasa ARB, meski tidak punya prestasi, diakali dengan mengatur Munas Bali sedemikian rupa sehingga terjadi aklamasi dan mencegah munculnya calon lain selain dirinya. Munas Bali, dinyatakan tidak demokratis, tidak transparan, tidak sesuai UU Parpol dan AD/ART Partai Gollar. Karenanya, dalam diktum majelis MPG, yakni Djasri Marin dan Andi Matalatta diputuskan Munas Ancol adalah munas yang sah dan berjalan secara demokratis dengan berbagai kesederhanaannya
Perebutan Fraksi, Babak Baru Perseturuan Golkar
Kekisruhan dualisme Partai golkar semakin tidak terkontrol. Pasca sidang majelis tinggi dan surat ketetapan dari Menkumham kini babak baru kisruh Partai Golkar bergeser kepada perebutan fraksi Golkar di Senayan. Kendati telah adanya penetapan tersebut, kubu ical ternyata tidak mudah menyerah begitu saja. jika saat yang lalu mereka menempuh jalur banding ke PTUN atas ketetapan menkumham dan iktiar politik untuk mengajukan hak interpelasi, kini perseteruan itu telah merembet kepada upaya saling rebut ruang fraksi.
Diberitakan oleh detik.com pada sore ini (30/3) bahwa telah terjadi aksi pendudukan ruang fraksi oleh kubu Ical (aburizal Bakrie) yang diketuai oleh Bambang Soesatyo. Kubu Agung Laksono, yang dikomando oleh Yoris pun tidak mau kalah, kini mereka sedang merangsek masuk kedalam ruang fraksi kendati mesti melakukan buka paksa.
Tentunya bagi kita, pemandangan ini kurang elok, ditengah merosotnya citra Partai politik ditengah masyarakat, mereka justru mempertontonkan perilaku yang tidak elegan dan berprilaku bak preman rebutan lapak.  Aksi saling klaim mana yang paling benar memang sah-sah saja dalam politik, namun harusnya tetap mengunakan norma-norma yang sepatutnya. Jika mereka terus-terusan kisruh seperti ini, kapan mereka akan memikirkan kepentingan bangsa dan negara. Persoalan naiknya dollar, ISIS, kenaikan harga, kenaikan BBM, infrastruktur, dan agenda pembahasan RUU yang hingga kini menunggu penyelesaian dari mereka justru diabaikan, dan lebih sibuk berebut jabatan.
Kepemimpinan Jokowi sampai saat ini sudah mencapai 5 bulan dan itu artinya sudah hampir setengah tahun, terasa belum banyak melakukan perubahan-perubahan yang signifikan.  Pemerintah saat ini hanya disibukkan dengan pertarungan anta elit partai saja, tarik menarik dukungan, mana ke KIH mana ke KMP. Tentunya hal ini benar-benar melelahkan dan membuat capek masyarakat. harusnya dalam kurun waktu 5 bulan ini sudah banyak perubahan yang dilakukan, dan dampak dari persaingan politik pasca pemilu dan pilpres sudah mulai stabil dan kembali memikirkan langkah-langkah pembangunan bangsa, bukannya kisruh yang tak berkesudahan.
Hanya Kerugian Yang Diperoleh Dari Perseteruan
Hari demi hari kita hanya disugihi babak-babak pertarungan perebutan kekuasaan yang tak berkesudahan. Akibat dari perebutan kekuasaan ini kinerja wakil rakyat menjadi mandeg dan tidak memiliki progress apa-apa. Tentunya hal ini akan membawa kerugian bagi semua pihak. Bagi masyarakat, dengan kekisruhan ini kita merasakan stabilitas ekonomi pasti akan terganggu, dan tentunya tingkat kepercayaan dunia usaha terhadap stabilitas politik dalam negeri pasti akan menurun indek persepsi publik.
Disamping itu, bagi pemerintah situasi ini pun akan merugikan. Bagaimana tidak, banyak agenda antara pemerintah dan legislatif yang harus dibahas bersama menjadi tertunda karena nya. Demikian pula bagi partai golkar sendiri. Kekisruhan dalam internal partai ini bukannya mendapatkan simpati masyarakat, namun akan berlaku terbalik, tingkat kepercayaan publik terhadap partai ini akan semakin melorot sejalan dengan kisruh yang terjadi dalam tubuh partai ini. Jika pada saat pemilu yang lalu tingkat capaian partai golkar menduduki peringkat ke-2, sebagai akibat dari kekisruhan ini bisa dipastikan akan melorot. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh LSI pada akhir desember 2014 lalu, jika pemilu legislative dilakukan hari ini (12/14) tingkat perolehan suara partai golkar hanya 8,4 persen, tentunya rentang angka ini terjun bebas dari hasil pemilu pada april lalu dengan tingkat capaian partai golkar sebesar 14 persen.
Berbagai pengamat juga menyampaikan bahwa jika perseteruan ini tidak segera berakhir, bisa dipastikan tingkat elektabilitas partai golkar akan terus merosot. Tentunya hal ini tidak boleh dipandang sepele oleh para elit golkar, karena dengan adanya kisruh ini tidak menutup kemungkinan rival partai golkar akan memanfaatkan dengan baik perseteruan ini.
Yang Terbaik adalah Kompromi
Kekuatan masing-masing kubu saat ini masih sama-sama kuat, baik dari sisi pendukung, dan strategi manuver yang dilakukan oleh masing-masing pihak. Tentunya hal ini tidak akan menyurutkan pertarungan sampai ada salah satu dari mereka dikalahkan, mengalah, atau secara konstitusional jelas telah tidak sah. Proses politik yang terjadi kini sangat rumit, mahkamah partai yang sejatinya adalah lembaga tertinggi dalam memutus sengketa organisasi nampaknya tidak mampu memutuskan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, bahkan surat ketetapan dari menkumham pun yang jelas-jelas telah memenangkan salah satu kubu menjadi hambar olehnya.
Manuver yang tejadi belakangan ini memang mempersulit keadaan, upaya-upaya banding yang dilakukan oleh kubu Ical, nampaknya tidak kenal lelah untuk memperpanjang durasi pertarungan. Iktiar politik yang dilakukan oleh kedua belah kubu nampaknya belum menemui jalan terang, masing-masing dengan persepsi politik yang dibangun menjadikan mereka yang paling benar.
Jika demikian, diyakini pertarungan ini tidak akan pernah berakhir jika masing-masing pihak saling legowo. Keyakinan saya bahwa olah panggung yang dilakukan oleh elit partai golkar hanya sesaat ternyata salah besar. Permainan olah panggung khas ala golkar ternyata telah berubah menjadi pertarungan darat tanpa wasit dan tanpa ring. Telah terjadi pertarungan bebas tanpa aturan yang canggih ala golkar sebelumnya.
Mengamati pertarungan yang terjadi saat ini, situasi panas ini akan berakhir jika masing-masing elit duduk bersama untuk mencapai titik kompromi yang tentunya saling menguntungkan bagi mereka semua. Adat yang terjadi dalam tubuh golkar adalah kompromi untuk mendapatkan keuntungan semuanya, bukanlah satu untung dan lainnya rugi. Jika proses perseteruan ini diyakini untuk mengalahkan satu dan mencari kemenangan pada pihak yang lain, sudah bisa dipastikan bahwa partai golkar akan segera paripurna. Hal ini dikarenakan partai golkar telah kehilangan ruh dan ciri khasnya, sebagai partai opurtunis dan pragmatis.
Akankah partai golkar kehilangan ruh dan cirri khasnya? Kita lihat sampai mana pertarungan ini akan mencapai titik temu.

Demokrat Vs Golkar, atau Sekedar Dagelan?

Bukan sekali ini saja pertengkaran kader Demokrat dan Golkar pernah tersulut. Demokrat dan sejumlah parpol baru bisa dikatakan merupakan sempalan dari Golkar, itu jika melihat dari manuver kader-kadernya. Bicara soal kader, dahulu pernah ada isu rasisnya om Poltak yang bikin Fuad Bawazier. Nah, sekarang ada lagi isu pencemaran nama baik antara Ramadhan Pohan dan Ical. Makin ramai saja sandiwara politik yang ditampilkan di DPR, lebih seru dan lebih lebai. Pintarnya lagi si Ramadhan Pohan mengambil momentum dengan membawa nama aspirasi rakyat. Oh, jadi kalau menyangkut partai lain labelnya aspirasi rakyat, sedangkan kalau menyangkut partai sendiri labelnya apa ya?
Sebaiknya Ramadhan Pohan itu kalau mau bicara aspirasi rakyat, lihat dulu ke dalam partainya. Bagaimana aspirasi rakyat atas konflik yang terjadi di negara dan menyangkut rekan-rekan sejawatnya di Demokrat. Tetapi bisa jadi karena Demokrat sedang disudutkan oleh media-media mainstream makanya si Pohan yang satu ini hendak mengambil momentum membersihkan citra kader-kader Demokrat. Paling tidak kalau sedang ada Anas atau Angie yang lagi disorot publik dengan pemberitaan negatif, tetapi ada pula yang mirip Ramadhan Pohan yang masih memerhatikan rakyat. Masyarakat seperti sedang disajikan permainan spekulasi segelintir manusia berkedok "penyelenggaraan kepemerintahan", tidak bisa ikut andil namun dampaknya dapat dirasakan. Hanya jadi penonton yang setiap 4 tahun sekali harus memilih dan memberikan suaranya dengan terpaksa, dipaksa oleh keadaan yang serba carut marut dan harapan absurd bahwa kutukan ini segera berakhir.
Sementara Golkar sendiri, jika melihat secara personal kadernya semisal Ical yang marah dikaitkan dengan perusahaan di Bima dan istilah "Mesin ATM" yang digunakan oleh Ramadhan Pohan, jelas tak ingin isu tersebut menciderai popularitas dirinya dan juga partai yang dia pimpin. Adapun Pohan tampaknya berusaha membidik soal dana-dana yang masuk ke partai jebolan orde baru itu. Di sisi lain saat ini partainya sedang dibongkar, baik oleh media, LSM, DPR dan juga dicurigai masyarakat seputar aliran dananya. Lihat saja keterangan Nazaruddin mengenai sejumlah uang yang beredar di acara kongres Demokrat. Artinya, sumber keuangan partai pemenang pemilu itu sedang dibedah mengenai kehalalannya. Lalu apakah Pohan justru ingin berbalik menyasar kepada Golkar yang mana fraksi partai beringin tersebut paling getol berkoar sejak pansus Century, dan menyerempet kepada sejumlah oknum kader partai Demokrat. Apakah isu ini akan menjadi bola panas yang bergulir menabrak partai-partai besar sehingga mereka harus pasang badan? Dan apakah karena keberadaan isu ini maka Setgab koalisi akan bubar grak jalan? Kita tunggu saja kelanjutan sinetron ini hingga season berikutnya.
Hahaha... "Memerhatikan suara rakyat" adalah jargon dan slogan yang paling gampang dimanipulasi. Kalau aktornya menyangkut kelompok keagamaan biasanya kata rakyat diganti kata umat. Saya ingat sekali waktu si Ical pidato dan ditayangkan TVOne, tentang visi Indonesia 100 tahun ke depan menurut versinya, yakni gambaran bangsa yang besar dan bermartabat. Namun bagaimanakah caranya agar bangsa ini menjadi bermartabat kalau dididik dengan intrik politik yang culas, lebai, korup, mafioso, dsb. Yang ada malah bangsa ini tetap saja jadi cheerleader bangsa lain. Menariknya adalah adanya pertengkaran-pertengkaran macam ini justru semakin membikin laku para pengamat untuk tampil berbusa di televisi bikin prediksi macam cenayang. Pun stasiun televisinya tambah asoy, karena media saat ini juga sudah jadi corong partai politik atau pemodal-pemodal kakap.
Indonesiah, Indonesiah, saya cari aman dan pragmatis saja ah. Daripada ikut-ikutan menyuarakan aspirasi rakyat dan memberikan suara saya di ajang pemilu, lebih baik masuk partai abstain sejahtera.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar